Minggu, 15 Desember 2013

Perdebantan Definisi Hukum

"+"

AKAR PERDEBATAN DEFINISI HUKUM



Abstrak:
Makalah ini membahas perdebatan definisi hukum yang hingga saat ini masih belum berakhir. Perdebatan mengenai definisi ini muncul karena ia merupakan sesuatu yang paling penting di dalam dunia keilmuan, di mana pemberian definisi terhadap obyek yang dikaji selalu muncul pertama kali sebelum aktivitas-aktivitas keilmuan lainnya dilakukan.
Perdebatan definisi hukum dalam makalah ini dikaji dalam perspektif filosofis, di mana definisi-definisi tentang hukum yang diajukan oleh sejumlah pakar hukum dilihat dari titik tolak mereka dalam memberikan sebuah definisi. Dari sini, akan ditemukan dari mana munculnya perdebatan definisi hukum tersebut.
Hasil dari kajian ini menunjukkan bahwa akar perdebatan definisi hukum terletak pada perbedaan cara pandang masing-masing pakar hukum. Secara garis besar ada dua perbedaan cara pandang yang digunakan para ahli: pertama, perspektif normatif yang memandang hukum sebagai kaidah-kaidah atau asas yang harus dipatuhi masyarakat; dan kedua, kaidah sosiologis yang memandang bahwa selain adanya kaidah-kaidah atau asas-asas, dalam hukum juga harus ada proses dan institusi dalam melaksanakan kaidah-kaidah hukum itu.

Kata kunci: hukum, rechtspositivisme, sociological jurisprudence



A.    Pendahuluan

Dalam setiap diskursus ilmiah, masalah “definisi” hampir selalu menjadi perdebatan sejumlah kalangan. Contoh yang barangkali masih segar di ingatan kita adalah polemik mengenai RUU pornografi dan pornografi yang hingga saat ini belum rampung. Polemik itu muncul, salah satunya dan yang paling krusial, adalah karena belum ada kesepahaman mengenai definisi pornografi dan pornoaksi. Begitu juga dengan hukum, sekalipun bukan sesuatu yang baru, sejauh ini masih belum ada definisi yang jelas apa itu hukum. Masing-masing pakar mendefinisikan hukum sesuai dengan perspektifnya masing-masing.
Hukum adalah sebuah disiplin ilmu yang cukup luas, sehingga para pakar hukum dapat dan absah untuk melihat hukum dari perspektif mana saja—dengan catatan tetap dalam bingkai dan kaidah-kaidah ilmiah. Oleh karena keluasan dan perbedaan sudut pandang para ahli hukum itulah, maka hingga saat ini masih belum ada sebuah definisi hukum yang bisa merepresantasikan sekian banyak definisi yang ditawarkan oleh para ahli hukum itu sendiri. 
L.J. van Apeldoorn menulis, meskipun jauh dari kemungkinan untuk membuat definisi tentang apa hukum itu dalam serentetan kata atau kalimat yang mencakup semuanya, para ahli hukum sibuk mencari suatu definisi tentang hukum. Mereka berusaha sekuat tenaga untuk memberikan definisi yang mungkin dapat diterima oleh semua pihak. Akan tetapi, hingga saat ini belum pernah dihasilkan definisi yang “memuaskan”, walaupun para ahli sudah memulainya sejak ribuan tahun yang lalu (Supriyanto, 1994: 140).  Bahkan, Immanuel Kant dengan yakin menegaskan: “tidak (ada) seorangpun dari ahli hukum yang mampu membuat suatu definisi tentang hukum, Noch suchen die Juristen eine Definition zu ihrem Begriffe von Recht (Azizy, 2004: 91). 
Apabila definisi hukum ternyata masih belum clear, maka tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa kajian mengenai hukum sebetulnya masih “hambar” dan tidak jelas juntrungnya. Sebab, belum ada pijakan dan frame yang jelas untuk menentukan mana yang termasuk dalam kajian hukum dan mana yang bukan. Penulis hendak menegaskan bahwa definisi hukum sejatinya merupakan koridor yang akan mengendalikan kajian-kajian selanjutnya.
Inilah yang menjadi fokus makalah ini, yaitu akan menganalisa dan mendeskripsikan perdebatan para pakar hukum mengenai definisi hukum. Dengan harapan, kajian ini bisa memunculkan sebuah definisi alternatif yang mengakomodir sejumlah definisi hukum yang ada.  

B.     Definisi Hukum dan Akar Perdebatannya

  1. Definisi Hukum 
Sebelum membahas akar perdebatan definisi hukum, tentunya sangat penting untuk menampilkan sejumlah definisi hukum yang telah dikemukakan oleh para ahli. Ini tidak lain untuk menunjukkan dan meyakinkan bahwa memang benar-benar terdapat banyak definisi hukum yang satu sama lain sulit untuk dipertemukan. Efek kecil dari banyaknya definisi hukum ini adalah, (barangkali) kita kesulitan untuk memberi definisi yang jelas manakala ditanyakan apa yang dimaksud dengan hukum.
Sebagaimana disebutkan di atas, perdebatan definisi hukum sudah muncul sejak Yunani kuno hingga sekarang. Akan tetapi dalam makalah hanya disebutkan beberapa definisi saja yang dianggap cukup untuk menggambarkan dinamika perdebatan definisi hukum di kalangan pakar hukum. Di antara definisi-definisi itu adalah:
a.       The law, to be sure, an ordering for the promotion of peace, in that it forbids the use of force in relations among the members of the community (Kelsen, 1973: 21).
b.      Low is governmental social control. It is, in other words, the normative life of a state and its citizens, such as legislation, litigation, and adjudicationit does not include social control in the everyday life of government service, such as post office or fire department, since this is the social control of employees, not of citizens as such. Nor does it include discipline in a government school, prison, or military, since this is not the social control of citizens—as such—either (Black, 1976: 2).                
c.       Law is the specific result of the configuration of obligations which makes it impossible for the native to shirk his responsibility without suffering for it in the future (Malinowski, 1959: 55).     
d.      Law is the maintenance or establishment of social order within a territorial frame work, by the exercise of coercive authority through the use, or the possibility of use of physical force (Hoebel, 1961: 26)
e.       A social norm is legal if its neglect or infraction is regularity met, in threat or in fact, by the application of physical force by an individual or group possessing the social recognized privilege of so acting (Hoebel, 1961: 28)
  1. Akar Perdebatan Definisi Hukum 
        Akar perdebatan definisi hukum yang diajukan para pakar di atas terletak pada perbedaan sudut pandang yang digunakan. Donald Black, misalnya, lebih memandang hukum sebagai kontrol sosial dari pemerintah terhadap rakyat. Menurutnya, kontrol sosial yang ada di sekolah, penjara atau instansi pemadam kebakaran bukan termasuk dalam kategori hukum dalam makna yang sebenarnya. Sebab kontrol sosial itu tidak mengikat rakyat secara keseluruhan, hanya kepada sebagian orang yang terlibat dalam institusi yang bersangkutan. 
Definisi hukum yang dikemukakan Black ini memang lebih spesifik. Sebab yang masuk dalam kategori hukum hanyalah aturan resmi dari pemerintah di suatu negara yang mengikat seluruh rakyat yang ada di negara itu. Sementara, kontrol sosial yang hidup dan berkembang di masyarakat, namun masih belum menjadi aturan resmi dari pemerintah tidak termasuk hukum.
Ada juga yang memposisikan hukum dalam arti luas. Hukum dalam pemaknaan ini mencakup semua norma sosial yang mewajibkan masyarakat untuk mematuhi norma-norma itu. Norma sosial itulah yang menentukan boleh tidaknya seseorang untuk berbuat sesuatu. Tentunya, apabila seseorang melanggar norma sosial itu, dia akan dikenai sanksi-sanksi tertentu.
Keberadaan hukum tidak lain untuk menciptakan kedamaian di masyarakat. Karena itu, tidak ada seorangpun yang boleh melakukan keonaran dalam sebuah komunitas. Keberadaan hukum sudah barang tentu membawa berbagai pembatasan dan pengorbanan. Akan tetapi, hal ini jauh lebih baik bila dibandingkan dengan keadaan tanpa hukum. Karenanya masyarakat bersedia untuk menerima hukum.
Dari sini dapat diklasifikasikan bahwa ada dua mainstream pendefinisian hukum, yaitu normatif dan sosiologis. Pendefinisian normatif menurut Mochtar Kusumaatmadja (1976: 15-16) adalah sebuah pende-finisian yang melihat hukum “… sebagai cara suatu perangkat kaidah dan asas-asas …”; sedangkan pendefinisian sosiologis memandang bahwa hukum “harus meliputi lembaga dan proses.”  Dua pendefinisian ini kemudian membentuk dua aliran filsafat hukum, yaitu aliran rechtspositivisme dan sociological jurisprudence.      
“Kaidah” diartikan sebagai patokan-patokan atau pedoman-pedoman perihal tingkah laku yang diharapkan (Soekanto, 1999: 59). Munculnya kaidah ini berangkat dari manusia sendiri. Di mana sikap manusia dipengaruhi oleh cara berpikirnya yang merupakan kecenderungan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu terhadap manusia (lain), benda atau situasi dan kondisi tertentu. Sikap-sikap manusia inilah yang kemudian membentuk kaidah-kaidah, sebab manusia memiliki kecende-rungan untuk hidup secara teratur dan pantas. Kehidupan yang teratur dan sepantasnya jelas berbeda pada masing-masing manusia. Untuk itu diperlukan kaidah-kaidah yang mengatur mengenai perbedaan cara pandang mengenai keteraturan dan kepantasan itu.
Istilah lain yang memiliki makna relatif sama dengan kaidah adalah norma. Norma, kata Satjipto Rahardjo (2000: 27), adalah sarana yang dipakai oleh masyarakat untuk menertibkan, menuntut dan mengarahkan tingkah laku anggota masyarakat dalam hubungannya satu sama lain. Agar bisa menjalankan fungsinya yang demikian itu, sudah barang tentu norma harus mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa. Paksaan ini ditujukan kepada setiap anggota masyarakat agar mematuhinya. Menurut Rahardjo, ciri-ciri ini sangat menonjol, sehingga tidak sedikit penulis, seperti Raz, Hart, dan Kelsen, yang mencirikannya sebagai “perintah yang didukung oleh paksaan.”   
Dalam konteks ini, tergambarkan bahwa cakupan hukum menurut aliran rechtspositivisme lebih luas dari aliran sociological jurisprudence. Oleh karena semua “kaidah-kaidah dan asas-asas dianggap sebagai hukum”, maka kebudayaan, adat, norma dan kebiasaan bisa dikatakan sebagai hukum.
Semua masyarakat pasti memiliki nilai-nilai budaya yang harus ditaati, dijunjung tinggi, dan dilestarikan oleh setiap anggota masyarakatnya. Nilai-nilai budaya itu tercakup secara lebih konkret dalam norma-norma sosial yang diajarkan kepada setiap warga masyarakat supaya dijadikan sebagai pedoman yang berlaku pada waktu melakukan berbagai peranan dalam berbagai situasi sosial.
Bila ada anggota masyarakat yang tidak mengindahkan norma sosial itu, berarti mengingkari nilai-nilai budaya yang mendasarinya; dan kalau pelanggaran itu terlalu sering terjadi maka nilai-nilai budaya tersebut lama-kelamaan bisa memudar dan terancam hilang. Karenanya, dari sebagian norma itu kalau dilanggar akan memperoleh sanksi konkret yang dikenakan oleh wakil-wakil masyarakat yang memang diberi wewenang untuk melaksanakan sanksi itu (Ihromi, 2000: 4-5).
Dengan demikian fungsi dari kaidah-kaidah tersebut adalah sebagai suatu mekanisme pengendalian sosial (mechanism of social control).  Soekanto (1999: 60) mengartikan mekanisme ini sebagai sesuatu yang dilakukan untuk mengimplementasikan proses yang direncanakan maupun tidak direncanakan untuk mendidik, mengajak atau bahkan memaksa para warga masyarakat agar menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah dan nilai-nilai kehidupan masyarakat yang bersangkutan.
Yang penting untuk dicermati adalah term “memerintah” dan “memaksa” dalam konteks ini. Bila tidak dibuat sebuah batasan yang jelas, maka ada kerancuan antara memerintah dan memaksa dalam term hukum dengan memerintah dan memaksa dalam term perampok. Sebab, pada faktanya hukum dan perampok sama-sama memerintah dan memaksa. Dalam konteks ini Hart (1972: 21-23) membedakannya dengan uraian berikut:
1.      Perampok ditujukan kepada orang-orang tertentu, sedang hukum kepada semua orang yang memenuhi persyaratan tertentu;
2.      Perbuatan yang dituntut untuk dilakukan oleh norma hukum dirumuskan secara umum, seperti jual beli, pencemaran nama baik, penganiayaan dan sebagainya, sedangkan pada perampokan yang harus dilakukan bersifat konkret, misalnya menyerahkan uang, emas, dan lain-lain;
3.      Perintah pada hukum bersifat terus menerus, sedangkan pada perampokan, apabila perintah itu sudah dilakukan, maka habislah kekuatannya.

          Dalam aliran rechtspositivisme ini tidak terlihat adanya lembaga dan proses. Sehingga, menurut aliran sociological jurisprudence, hal ini tidak bisa disebut hukum. Sebagaimana telah disebutkan di muka, aliran sociological jurisprudence menganggap bahwa sesuatu baru dikatakan sebagai hukum apabila ada lembaga dan prosesnya. Artinya, tidak semua asas-asas atau kaidah-kaidah bisa dikatakan sebagai hukum.
Persoalannya yang muncul kemudian, lembaga apa dan siapa yang memiliki wewenang menjalankan proses hukum itu? Apabila yang melaksanakan adalah tokoh adat, pemuka agama, atau orang-orang tertentu yang diberi wewenang untuk melaksanakan proses hukum, maka hal ini tidak ada bedanya dengan aliran rechtspositivisme. Sebab, di dalam aliran ini juga ada seseorang atau sejumlah orang yang memiliki wewenang untuk melaksanakan proses hukum.  
Atas dasar ini, Malinowski (dalam Hoebel, 1961: viii) menulis bahwa “ada beberapa kaidah yang penerapannya membutuhkan dukungan dari suatu kekuasaan.” Kemungkinan besar pendapat Malinowski yang membedakan hukum dengan kebiasaan agak berpengaruh terhadap pendapat-pendapat para sarjana selanjutnya yang pada umumnya berusaha untuk mempertentangkan kedua pengertian tersebut.
Masih menurut Soekanto, kedua pengertian itu bisa dibedakan atas sumber sanksinya dan pelaksanaannya. Pada kebiasaan sumber sanksi dan pelaksanaannya adalah para individu dan kelompok, sedangkan hukum didukung oleh suatu kekuasaan terpusat pada badan-badan tertentu dalam masyarakat. Atau dengan kata lain, hukum dilaksanakan oleh negara sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, sebagaimana pernah dikemukakan oleh Marx Weber.
Sementara menurut Satjipto Rahardjo (2000: 146) Adanya kekuasaan ini adalah sebagai kekuatan pendorong terhadap hukum di dalam menjalankan fungsi-fungsi hukumnya, seperti kekuatan pengintegrasi atau pengkoordinasi proses-proses dalam masyarakat. Kita bisa mengatakan bahwa hukum tanpa kekuasaan akan tinggal sebagai keinginan-keinginan atau ide-ide belaka.   
Senada dengan Weber, John Austin menegaskan bahwa hukum tidak didasarkan atas baik dan buruk, tetapi didasarkan atas kekuasaan dari sesuatu yang lebih kuat, yaitu negara. Dalam ajaran hukumnya, tokoh yang membedakan antara hukum manusia (human laws) dan hukum Tuhan  (law of God) ini, membedakan hukum menjadi tiga bagian, yaitu: 1) hukum yang sebenarnya lebih pas disebut hukum positif; 2) hukum bukan dalam arti sebenarnya, misalnya hukum internasional; dan 3) hukum yang dibuat oleh penguasa, misalnya undang-undang (Ardhiwisastra, 1994: 236).
Bisa dikatakan bahwa hukum adalah undang-undang yang dibuat oleh negara. Hal ini tidak berarti bahwa hukum yang tidak berasal dari negara tidak diakui sebagai hukum, umpamanya hukum adat. Akan tetapi, kepada hukum itu diberikan suatu arti lain daripada undang-undang negara yang menghasilkan suatu peraturan yuridis. Agar masuk pada tataran hukum yuridis, maka hukum adat itu memerlukan pengesahan dari negara (Huijbers, 1995: 113). Karenanya posisi penguasa, melalui kekuatan politiknya, memiliki peran besar dalam hukum, sebab merekalah yang membuat dan melaksanakan proses hukum itu sendiri.
Undang-undang tersebut dibuat dengan tujuan kebaikan masyarakat, keamanan rakyat, perdamaian dan keadilan. Sudah barang tentu demi terciptanya tujuan-tujuan, para pembuat undang-undang (penguasa) harus merumuskan dan menuliskannya sesuai dengan kebahagiaan umum sehingga rakyat menerimanya dan menaatinya.   
Hukum memang membutuhkan kekuasaan, tetapi kekuasaan itu jangan sampai menunggangi hukum. Dengan pandangan semacam ini, menurut Rahadrjo (2000: 146), kita melihat dengan jelas persoalan yang kita hadapi sekarang, yaitu hubungan antara hukum dan kekuasaan.
Hubungan antara hukum dan kekuasaan menurut Rahardjo tidak hanya terbentuk sebagai sarana untuk mengontrol kekuasaan yang dimiliki orang seseorang. Hukum tidak hanya membatasi kekuasaan, ia juga menyalurkan dan memberikan kekuasaan kepada orang-orang. Pada masyarakat yang organisasinya semata-mata didasarkan pada struktur kekuasaan, orang memang tidak membutuhkan pada struktur kekuasaan, orang memang tidak membutuhkan hukum sebagai sarana penyalur kekuasaan. Tetapi pada masyarakat yang diatur oleh hukum, kekuasaan yang ada pada orang-orang itu hanya bisa diberikan melalui hukum. Dengan demikian maka hukum itu merupakan sumber kekuasaan, sebab melalui hukumlah kekuasaan itu dibagi-bagi kepada masyarakat.    
Pandangan Rahardjo di atas memang benar, jika relasi antara hukum dan kekuasaan itu dilihat dalam perspektif idealitas. Hanya saja, idealitas dan kenyataan empiris acapkali bertolak belakang. Menurut Mahfud MD (1998: 6; dan 1999: 4), meskipun dari sudut das sollen ada pandangan bahwa politik harus tunduk pada ketentuan hukum, akan tetapi pada ranah das sein hukumlah yang dalam kenyataannya ditentukan oleh konfigurasi politik yang melatarbelakanginya. Makanya, ia menyimpulkan bahwa setiap produk hukum merupakan produk keputusan politik, sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran politik yang saling berinteraksi di kalangan politisi.
Tarik menarik antara hukum dan politik atau kekuasaan ini sekaligus menjadi ujian apakah hukum bisa netral atau tidak. Lambang neraca yang seimbang mengindikasikan bahwa hukum harus “netral”. Kata yang disebut terakhir ini merupakan hal yang paling sulit dalam dunia hukum. Tetapi pada kenyataannya, hampir tidak ada netralitas dalam hukum. Muladi menyatakan, ketika kita berargumentasi bahwa hukum itu tidak memihak (impartial), yang muncul adalah tidak hanya pemihakan tetapi abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan)” (Gunaryo, 2006b: 22).
Dalam tarik menarik antara hukum dan politik terlihat bahwa hukumlah yang terpengaruh oleh politik, karena subsistem politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar dari hukum. Sehingga, jika harus berhadapan dengan politik, maka hukum berada dalam kedudukan yang lemah. Karena kuatnya konsentrasi energi politik, kata Mahud MD (1998: 13), maka otonomi hukum acapkali diintervensi oleh kekuatan politik.     
Gunaryo (2006: 22) memberi contoh sederhana tetapi cukup mendalam mengenai tarik menarik antara hukum dan kekuatan politik: “kita diberi tahu bahwa bangsa Indonesia adalah satu bangsa terkorup di dunia, tetapi yang muncul ‘secara hukum’ tidak ditemukan koruptor.” Ini terjadi karena hukum telah bertekuk lutut dihadapan kekuatan politik. Sebetulnya, masih kata Gunaryo, hal semacam ini banyak dialami negara-negara di dunia, termasuk Amerika Serikat sekalipun.  
Bagi Sri Soemantri, hubungan antara hukum dan politik ibarat perjalanan lokomotif kereta api yang keluar dari relnya. Jika hukum diibaratkan rel dan politik diibaratkan lokomotif, maka sering terlihat lokomotif keluar dari rel yang seharusnya dilalui. Prinsip (atau sekedar semboyan) yang menyatakan politik dan hukum harus bekerja sama dan saling menguatkan melalui ungkapan “hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman” menjadi semacam utopia belaka. Hal ini terjadi karena di dalam prakteknya hukum kerapkali menjadi cermin dari kehendak dari pemegang kekuatan politik, sehingga tidak sedikit orang yang memandang bahwa hukum sama dengan kekuasaan (Mahfud MD, 1998: 13).    
Hal semacam inilah yang menjadi PR para penganut aliran sociological jurisprudence yang mendefinisikan hukum sebagai kaidah-kaidah atau asas-asas (yang dilaksanakan) melalui proses dan lembaga tertentu. Negara (baca: penguasa) yang diharapkan mampu menjalankan hukum sebagaimana mestinya, ternyata tidak bisa diharapkan. Malah yang paling banyak melanggar hukum adalah para pemilik kekuasaan dan penegak hukum. 
Definisi hukum dalam perspektif aliran sociological jurisprudence sejatinya cukup ideal. Dikatakan ideal, karena ia menginginkan agar hukum bisa berlaku bagi masyarakat keseluruhan dan bisa diterapkan dengan sebaik-baiknya melalui adanya proses dan lembaga-lembaga tersebut. Tetapi adanya lembaga-lembaga dan proses-proses hukum itu ternyata malah menimbulkan dampak negatif, di mana hukum gagal menciptakan keteraturan di masyarakat.
Hal lain yang penting untuk dikaji dalam perbincangan definisi hukum adalah perbedaan antara hukum dengan kaidah-kaidah sosial lainnya yang sama-sama bertujuan sebagai sarana keteraturan sosial, seperti moral, anjuran, tradisi dan lain sebagainya.
Salah satu ciri yang paling kentara untuk membedakan antara hukum dengan kaidah-kaidah lainnya adalah “kadar kepastiannya”. Lihat contoh peraturan berikut: Pertama, “Di jalan umum, seorang pengemudi tidak boleh menyalip kendaraan di mukanya manakala jalan dihadapannya tidak bebas.”
Kedua, “Di jalan umum, seorang pengemudi harus bertindak hati-hati secara layak untuk menghindari kerugian pada orang lain.”

          Apabila kedua peraturan di atas dibandingkan, maka pada aturan peraturan pertama dijumpai cara hukum yang pasti, yaitu tentang perbuatan yang bagaimana yang harus dilakukan oleh seorang pengemudi di jalan umum. Tetapi pada peraturan kedua, hukum tidak mengaturnya secara ketat. Kata-kata “bertindak hati-hati secara layak” bukanlah peraturan dengan ukuran yang pasti. Orang perlu menimbang-nimbang terlebih dahulu sebelum dapat memastikan apa yang disebut “berhati-hati secara layak itu” itu.
            Soerjono Soekanto (1999: 66) menulis, agar dapat dibedakan antara hukum dengan kaidah-kaidah lainnya, dikenal adanya empat tanda hukum atau the attributes of law.
1.      Attribute of authority, yaitu hukum merupakan keputusan dari pihak-pihak yang berkuasa dalam masyarakat, keputusan-keputusan mana ditujukan untuk mengatasi ketegangan-ketegangan yang terjadi di dalam masyarakat.
2.      Attribute of intention of universal application, artinya keputusan-keputusan yang mempunyai daya jangkau yang panjang untuk masa-masa mendatang.
3.      Attribute of obligation, yaitu keputusan-keputusan penguasa harus berisikan kewajiban-kewajiban pada pihak pertama terhadap pihak kedua dan sebaliknya.
4.      Attribute of sanction, yaitu keputusan-keputusan dari pihak yang berkuasa harus dikuatkan dengan sanksi yang didasarkan pada kekuasaan masyarakat yang nyata.    
         Persoalannya adalah siapa yang dimaksud dengan “penguasa”. Kata penguasa yang dikemukakan oleh Soekanto masih terlalu umum. Ia tidak jelas berasosiasi pada penguasa negara atau penguasa suatu masyarakat tertentu, yang sama-sama memiliki wewenang untuk: menjalankan keputusan-keputusan yang daya jangkaunya panjang disertai dengan sanksi-sanksi tertentu yang bertujuan untuk mengatasi ketegangan-ketegangan di masyarakat.
       Selain itu kata “keputusan” yang dikemukakan Soekanto belum secara gamblang, berdasar pada aturan-aturan tertulis atau tidak; berlaku untuk seluruh masyarakat di suatu negara atau hanya untuk sebuah komunitas tertentu saja. Sebab, bisa jadi keputusan-keputusan hukum tersebut didasarkan pada adat dan tradisi di suatu masyarakat yang diwariskan secara turun-temurun.
        Padahal, hukum itu bisa berfungsi dengan baik apabila penegak hukum memiliki peraturan tertulis yang menyangkut ruang lingkup tugasnya dengan menentukan batas-batas kewenangan dalam pengambilan kebijaksanaan. Dan yang paling penting adalah kualitas pengambil keputusan implementasi hukum tersebut. 
           Oleh karena itu, hukum yang banyak diterima dan dijalankan oleh negara-negara di dunia sekarang ini pada umumnya bisa dikategorikan sebagai hukum modern memiliki ciri-ciri tertentu, antara lain: 1) hukum memiliki bentuk tertulis; 2) hukum itu berlaku untuk seluruh warga negara; dan 3) hukum merupakan instrumen yang dipakai secara sadar untuk mewujudkan keputusan-keputusan politik masyarakatnya (Rahardjo: 2000: 124).   
       Namun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa hukum hakikat hukum, menurut Savigny, adalah sebagai pencerminan jiwa rakyat yang mengembangkan hukum itu. “Hukum adalah hasil perkembangan historis masyarakat di tempat hukum itu berlaku; isi hukum ditentukan oleh perkembangan adat istiadat rakyat di sepanjang sejarah” (Basuki, 1999: 31)
          Pandangan serupa dikemukakan oleh murid murid Von Savigny, G. Puchta, yang menyatakan, “hukum itu tumbuh bersama-sama dengan pertumbuhan dan menjadi kuat bersama-sama dengan kekuatan rakyat, dan pada akhirnya ia mati manakala bangsa itu kehilangan kebangsaannya” (Rahardjo, 2000: 278).
         Oleh karena itu, timbul anggapan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang baik adalah hukum yang hidup di masyarakat. Hal ini didasarkan pada pendapat bahwa untuk mewujudkan nilai-nilai sosial yang dicita-citakan oleh masyarakat, diperlukan kaidah hukum sebagai alatnya. Hukum yang demikianlah yang sesuai dengan alam pikiran suatu bangsa yang sebagian besar masyarakatnya masih tinggal di pedesaan seperti Indonesia. 
          Pandangan yang berkembang dari pemikiran Savigny ini juga menimbulkan masalah. Sebagaimana dikutip oleh Soekanto, Savigny berpendapat bahwa “hukum itu tidak bisa berlaku umum; ia hanya bisa diterapkan bagi bangsa di tempat yang ia dibuat”. Masalahnya adalah, bagaimana jika bangsa tersebut memiliki berbagai kemajemukan? mungkinkah hukum yang dikembangkan bisa mengakomodir semua nilai-nilai yang dimiliki oleh masing-masing masyarakat? Pemikiran Savigny itu bisa terwujud dalam masyarakat yang homogen, tetapi tidak bisa diterapkan di dalam suatu bangsa yang sarat dengan pluralitas (etnik, budaya, ras, agama, warna kulit, dll) seperti Indonesia.
           Berbeda dengan pandangan di atas, menurut paham sekularisme hukum harus didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan universal yang terlepas dari agama, ras, suku, maupun warna kulit. Rasionalitas sangat dijunjung tinggi. Karena itu menurut paham ini hukum harus rasional. Cita hukum yang diidealkan, meminjam istilah Nonet dan Selznick, adalah hukum yang otonom (Gunaryo, 2006: 31).
 


C. Kesimpulan
           Perdebatan definisi hukum terletak pada perbedaan cara pandang dan kesulitan untuk menemukan bahasa yang pas untuk mendeskripsikan hukum sebagai salah satu obyek kajian ilmiah. Setiap definisi yang dikemukakan selalu gagal menangkap keutuhan obyek tersebut. Selalu ada sisi-sisi hukum yang tidak tertampung dalam suatu rumusan.
            Dalam kajian ini ditemukan bahwa ada dua mainstream perdebatan definisi hukum, yaitu rechtspositivisme, sociological jurisprudence. Yang pertama memandang hukum secara umum, yakni setiap kaidah-kaidah yang berfungsi untuk mengatur dan mengontrol masyarakat; sementara yang kedua, memandang bahwa selain adanya kaidah-kaidah, di dalamnya harus pula ada institusi dan proses.
            Bagi aliran yang pertama, tradisi, budaya dan moralitas termasuk dalam hukum. Sementara bagi yang kedua, hal itu tidak dianggap sebagai hukum. Suatu adat bisa dianggap hukum ketika sudah disahkan oleh undang-undang. Undang-undang yang dimaksud di sini adalah undang-undang yang dibuat oleh negara yang dijalankan oleh penguasa. 

 

 

Daftar Pustaka


Ardhiwisastra, Yudha Bhakti, 1994, Implikasi Beberapa Paham Filsafat Hukum dalam Hukum Internasional, dalam Lili Rasjidi dan Arief Sidharta, Filsafat Hukum Madzhab dan Refleksinya, Bandung, Remaja Rosdakarya
Azizy, A. Qordi, 2004, Hukum Nasional Eklektisisme Hukum Islam dan Hukum Umum, Bandung, Teraju Mizan
Black, Donald, 1976, The Behavior of Law, New York, Academic Press
Gunaryo, Ahmad, 2006a, Pergumulan Politik dan Hukum Islam (Reposisi Peradilan Agama dari Peradilan “Pupuk Bawang” Menuju Peradilan yang Sesungguhnya), Yogyakarta, Pustaka Pelajar
______________, 2006b, Dari The Rule of Law Menuju The Rule of Social Justice, dalam Ahmad Gunawan dan Mu’ammar Ramadhan (ed), Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar 
Hart, H.L.A., 1972, The Concept of Law, 2nd Edition, Oxford, Clarendon Press.   
Hoebel, Adamson E., 1961, The Law of Primitive Man, Cambridge, Harvard University Press   
Huijbers, Theo, 1995, Filsafat Hukum, Yogyakarta, Kanisius
Ihromi, T.O., 2000, Antropologi Hukum, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia
Kelsen, Hans, 1973, General Theory of Law and State, Haven, Yale University Press
Kusumaatmadja, Mochtar, 1976, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bandung, Banacipta
Mahfud MD., 1998, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, LP3ES
Malinowski, Bronislaw, 1959, Crime and Custom in Savage Society, New Jersey, Littlefield & Paterson
Rahardjo, Satjipto, 2000, Ilmu Hukum, Badung, Citra Aditya Bakti
Soekanto, Soerjono, 1999, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, Rajawali Press

Supriyanto, Eddy, 1994, Konsepsi Hukum Sebagai Sarana Pembaharuan Masyarakat dalam Kehidupan Berbangsa, dalam Lili Rasjidi dan Arief Sidharta, Filsafat Hukum Madzhab dan Refleksinya, Bandung, Remaja Rosdakarya